Ada satu ungkapan bahwa “Lebih baik menunjukkan kegagalan dalam berkarya daripada menunjukkan kegagahan tanpa hasil karya.” Ungkapan itu pernah dilontarkan Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., Guru Besar FKIP UNS dalam suatu perkuliahan dulu. Dari hal itulah, semangat untuk berkarya melalui keberanian menuliskan ide-ide ditanamkan. Ide paling sederhana yang dapat dituliskan adalah sesuatu yang pernah dialami sendiri, yang membekas sebagai suatu kenangan. Kenangan manis tak kan habis, kenangan sayang tak kan hilang, kenangan romantis tak kan terkikis, dan kenangan sedih tak kan menyisih. Kenangan mesra? Tentunya makin terasa…
Berikut ini coretan para siswa MAN 2 Banjarnegara yang kreatif dalam mengolah kenangan…
Bukan Ingusnya
Setiap hari saya pergi sekolah bersama teman-teman. Sudah dua tahunan kami selalu pergi bersama, bahkan pulang sekolahpun kami saling setia untuk tunggu menunggu. Suatu hari hujan turun dengan derasnya, yang akhirnya membuat kami basah kuyup. Keesokan harinya, saya menjadi batuk dan flu, tapi anehnya yang mengalami sakit di antara kami hanyalah saya seorang. Mungkin karena daya tahan tubuh saya lebih lemah daripada mereka. Hal ini tidak sampai membuat saya untuk tidak masuk ke sekolah. Meski sebenarnya flu sangatlah membuat tidak konsen belajar.
Pagi itu saya berangkat seperti hari biasanya, lengkap berpakaian seragam putih biru, tak ketinggalan dasi abu-abu saya. Saya termasuk salah satu siswi yang suka mengenakan dasi karena dengan memakai dasi, saya merasa lebih percaya diri. Ya, bisa dibilang saya tidak pernah absen dari memakai dasi. Dan saya juga sangat suka dengan dasi yang berukuran panjang. Pagi itu kami pergi ke sekolah dengan menggunakan angkutan umum, yang ternyata di dalamnya sudah penuh sesak dengan penumpang. Namun, kami tetap masih bisa naik, meski sangat berdesakan. Kebetulan saya duduk di sebelah kanan seorang siswi yang lain sekolah dengan saya.
Tiba-tiba setelah beberapa menit kemudian angkutan itu berjalan, batuk sayapun mulai berdahak-dahak. Karena merasa malu dengan yang lain, saya menutup mulut saya dengan menggunakan kerudung. Beberapa lama kemudian, berganti dengan hidung saya yang sedang flu. Ingin sekali hidung ini mengeluarkan ingus. Meski beberapa kali sudah saya coba untuk menahannya, ingus dari hidung saya keluar begitu derasnya. Spontan saya berpikir, jika saya gunakan kerudung untuk mengelap dan menutupi hidung, pasti kerudung saya menjadi terlihat kotor dan jorok. Sehingga tidak berpikir panjang, dasi abu-abu saya gunakan untuk mengelap dan menutup hidung saya. Serentak teman-teman yang tadi datang bersamaku tertawa terbahak-bahak. ’’Ah… Apa-apaan sih mereka, teman sedang susah kok malah tertawa,’’ ujarku dalam hati.
Di sepanjang jalan saya masih tetap menutup hidung, tak peduli dengan teman-teman yang tertawa itu. Sesampai kami tiba di depan sekolah kamipun beranjak untuk turun. Saat saya berdiri, tiba-tiba terdengar suara teriakan yang lumayan keras di telinga saya. Saya menoleh, ternyata dasi abu-abu siswi itu tertarik oleh tangan saya. Jadi, ternyata yang saya gunakan untuk mengelap ingus saya adalah dasi yang dipakai oleh siswi sekolah lain, yang kebetulan tadi duduk di sebelah kanan saya. Saya baru menyadari hal itu saat saya mau turun dari angkot. Aduuuhhh, malu sekali rasanya. Saya ingin segera minta maaf tapi kami terburu-buru masuk ke dalam sekolah karena saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 07.05 WIB. Apalagi siswi yang dasinya saya gunakan untuk mengelap ingus juga sudah keburu menghilang, mungkin mau segera mencuci dasinya…
Begitulah, meski itu semuanya adalah salah saya tapi saya pikir ini memang nasib siswi itu yang sedang sial. Maafkan saya, ya. Ini adalah pengalaman yang sampai saat ini belum bisa hilang dari ingatan. (Zaimmatun Nafi’ah – XII IPA 1)
*****
Bersin yang Dahsyat
Pada saat itu kelasku sedang pelajaran Bahasa Inggris, yang mengajar adalah Bapak Nelly. Bapak Nelly orangnya baik. Namun, bila sedang mengajar, kebetulan ada siswa yang bandel, Bapak Nelly akan marah. Itu memang sudah biasa. Setelah itu beliau akan meneruskan pelajaran.
Barangkali karena terkena gejala flu, berkali-kali Pak Nelly bersin. Namun, yang menjadi persoalan adalah ketika beliau tiba-tiba bersin dengan dahsyatnya, sampai-sampai keluar upil (kotoran hidung) yang cukup besar dan menempel di depan hidung.
Padahal Pak Nelly duduk di meja depan, dan duduknya lurus denganku, tetapi hanya berjarak 3 bangku. Setelah aku dan teman-teman melihatnya, kami tersenyum-senyum dan sulit menghentikannya.
Apalagi anak yang duduk persis di depan Pak Nelly, tersenyum sambil memegangi perut menahan tawa. Aku juga tersenyum-senyum sampai perutnya sakit. Masak Pak Nelly bersin sampai upilnya keluar? Tapi Alhamdulillah, upil itu tidak meloncat ke siswanya, hee…hee…he…! Coba kalau meloncat, kemudian siswa yang di depan pas sedang menguap lebar… asyik deh…!
Pak Nelly seperti orang bingung, mungkin berpikir kenapa siswanya senyam-senyum semua. Tentu ia tak sadar bahwa upilnya telah keluar. Teman-teman memandang Pak Nelly sambil tersenyum-senyum. Salah seorang menunjuk ke arah muka Pak Nelly, “Maaf, Pak. Ada sesuatu di hidung tuh..”
Pak Nelly mengusap hidungnya namun tidak mendapatkan sesuatu itu. “Hampir kena Pak,” seru teman-teman. Kemudian beliau mengusap lagi, kemudian mengusap lagi, dan akhirnya dapat deh upilnya. Pak Nelly tersenyum, mungkin puas karena berhasil medapatkan upil, mungkin juga malu. He…he…he…he… (Lia Aristania – XII IPS 1)
*****
Pertanyaan Menjebak
Kebiasaan kami di kelas adalah membawa bekal makan siang dari rumah karena kami wajib mengikuti les sepulang sekolah sampai sore hari. Maklumlah, kan menyongsong Ujian Nasional memerlukan persiapan yang matang. Nah saat itu, suasana idul adha masih menghiasi di kelasku, sehingga saat itu anak-anak di kelasku banyak yang membawa bekal makan dari rumah dengan lauk daging sapi atau daging kambing.
Saat jam istirahat ke-2 anak-anak di kelasku mulai membuka bekal yang dibawa masing-masing dan memakannya. Sambil makan aku bertanya tentang lauk teman-teman tetapi dengan pertanyaan yang menjebak.
“Kamu kambing atau sapi?” tanyaku kepada Mumas.
“Kalau aku bawahnya sapi, yang atasnya kambing,” jawab Mumas yang polos.
“Lha kalau kamu apa, Dian?” tanyaku kepada Diana.
“Aku bukan kambing, aku ayam ,” jawab Diana.
Dan aku menyimpulkan.
“Wah, ternyata teman-temanku binatang semua. Si Mumas perpaduan antara sapi dan kambing. Eh.. Diana malah ayam,” ucapku sambil tertawa.
“Ohh dasar songong … Tuyem Tuyem!!” seru Mumas dan Diana setelah menyadari arah pertanyaanku. (Nur Shafa Permata – XII IPA 2)
*****
Gara-gara Kambing
Saya tinggal di sebuah desa yang agak terpencil, yaitu Desa Pucung Bedug, Kecamatan Purwanegara, Kabupaten Banjarnegara. Sudah menjadi tradisi di desa saya, bila musim liburan tiba anak-anak sebaya saya membantu orang tua dengan mengembala kambing. Kambing merupakan hewan peliharaan paling digemari di desa saya.
Pada saat itu saya sedang asyik duduk di ruang tengah rumah. Tiba-tiba ada suara yang cukup keras memanggil-manggil namaku.
“Mun…. Mun…!”
“Ana apa ngorong-ngorong bae, gari mlebu koh (Ada apa teriak-teriak, segera masuk saja),” jawab saya sambil keluar rumah. Ternyata yang memanggil adalah teman saya, Darno.
“Ko garep angon wedus ra? (Kamu akan menggembala kambing tidak?)” tanya Darno.
“Ya iya koh, wong wedus wis gering kaya kae, wis suwe ra diangon (Ya iyalah, kambing sudah kurus begitu kok, sudah lama tidak digembalakan).”
“Nek kaya kuwe, mayuh! Nyong tek ngetokna weduse sit (Kalau begitu, ayo! Saya mengeluarkan kambing dulu),” kata Darno sambil pergi menunju kandang kambingnya. Kebetulan rumah Darno bersebelahan dengan rumah saya.
Lalu saya pergi pula ke kandang untuk mengeluarkan kambing. Saya dan Darno menggiring kambing ke tempat yang biasa untuk mengembala kambing. Setelah sampai di tempat, kami membiarkan kambing-kambing untuk memakan rumput dan kami berdua duduk-duduk sambil mengawasi kambing-kambing kami sambil bercakap-cakap.
“Mun, weduse ko dadi gering temen? (Mun, kambingmu kok jadi kurus sekali?)” tanya Darno.
“Iya koh, wis bosen urip mbokan (Iya, sudah bosan hidup mungkin),” jawab saya sekenanya.
“Ya gari disembeleh bae, nggo lawuh si enak! (Ya tinggal disembelih saja, untuk lauk malah enak!)” usul Darno.
“Mengko ya nyong ra nduwe ingon-ingon priwe… (Nanti saya tidak punya peliharaan gimana…),” jawab saya sambil berdiri.
”Ko si garep ngendi? (Kamu mau ke mana?)” tanya Darno.
”Ndeleng weduse ko… (Lihat kambingmu…).”
Saya menuju ke arah kambing milik Darno, kemudian memegang-megang punggung kambing milik Darno yang besar dan gagah. Tiba-tiba saya berpikir untuk menaiki kambing itu. Saat saya mulai naik, tiba-tiba kambingnya berlari-lari. Saya yang masih di punggung kambing ikut terbawa. Kambing itu kemudian berlari ke arah kolam dan berhenti mendadak saat di pinggiran kolam. Karena hilang keseimbangan, saya pun jatuh ke kolam itu.
“Aduuuhhh…, ha…ha…ha…!” saya tertawa dengan menahan rasa sakit. Melihat kejadian itu, Darno juga ikut tertawa. Bukannya membantu malah menertawakan. Kemudian, saya dan Darno pun memutuskan untuk pulang.
Saya merasakan ada seuatu yang aneh karena dari tadi teman saya tertawa terus bahkan orang-orang yang berpapasan dengan saya ikut tertawa. Saya menjadi curiga, jangan-jangan ada apa-apa. Eh, eh, eh… setelah saya amati sekujur tubuh sesampainya di rumah, ternyata celana saya sobek lumayan lebar. Oh, pantas saja semua orang tertawa. Habis, melihat pemandangan yang waow sih…!
Itulah pengalaman saya di waktu kecil. Sayang sekali, budaya mengembala kambing di desa saya sekarang sudah mulai menghilang karena mereka lebih suka mencari atau membeli rumput daripada membawa kambingnya merumput, atau mungkin juga anak-anak sekarang merasa gengsi. (Salimun – XII IPS 2)
*****
Rasa Kenyal dalam Kegelisahan
Sore ini aku persiapkan buku-buku dan peralatan sekolah untuk esok hari. Tidak hanya itu, aku juga membaca semua buku-buku yang telah aku persiapkan itu. Hampir semua buku kubaca, tak terasa malam mulai larut dan waktupun menunjukkan pukul setengah dua belas. Kurasa badan ini mulai lelah, juga mengantuk. Aku bereskan kembali buku-buku yang telah kubaca dan kumasukan semua buku itu ke dalam tas, selanjutnya aku bergegas untuk tidur.
Alarm mulai berdering, aku pun terbangun dan mematikannya. Namun tak kusadari, setelah mematikan alarm aku tertidur kembali. Selang beberapa lama terdengar suara seseorang wanita, seketika aku terbangun. Eh, ternyata itu suara ibuku yang sedang berteriak-teriak membangunkan aku.
Ternyata hari sudah terlihat siang, jam menunjukan pukul setengah enam pagi. Aku mulai sibuk dengan persiapan sekolah. Aku pun bergegas untuk salat, mandi, dan sebagainya. Setelah beres-beres selesai, jam sudah menunjukkan pukul enam pagi. Inilah saatnya aku harus berangkat agar tidak terlambat sesampai di sekolah. Cacing-cacing peliharaan di perut mulai bernyanyi ingin dberi makan. Tapi mengingat sudah siang, aku tak pedulikan perut ini. Rasa gelisah karena takut terlambat telah mengalahkan segalanya.
Tas mulai kutenteng, dengan terburu-buru kupakai sepatu dan berlari ke tepi jalan, untuk menunggu supir langgananku (bus kota). Selang beberapa lama datanglah sebuah bus kota yang telah sesak, yang hanya tersisa di bagian pintu bus saja. Aku tak pedulikan hal itu, Aku pun naik, berpegangan tangan sebuah besi yang digunakan untuk pegangan. Kuraba-raba besi itu agar kutemukan posisi pegangan yang nyaman. Tapi, aku bingung ketika meraba-raba aku menemukan sesuatu yang sangat aneh, terasa kenyal seperti ban dalam sepeda. Aku semakin penasaran dengan benda itu. Kuraba semakin kuraba. Namun anehnya, rasa penasaran ini semakin besar dan tak dapat kutahan.
Seketika itu aku menengok ke benda tersebut, dengan wajah yang kaget dan malu. Untuk meyakinkan penglihatanku, aku menengok kembali ke arahnya sambil berkata, “Apaan nih, kok kenyal…” Tak kusangka, ternyata yang sejak tadi kupegang dan kuraba-raba itu adalah tangan seseorang wanita setengah baya. Betapa malunya aku saat itu , selang beberapa lama tibalah di pasar bus kota berhenti dan akupun turun. Ketika wanita itu turun dia tersenyum padaku. Dengan perasaan malu aku membalas senyum itu. Setelah itu aku meneruskan perjalanan ke sekolah. (Mohammad Supriyadi – XII IPA 3)
*****
Rumahnya Tidak Dibawa, Pak!
“Teeet….teeet…..teeet….!” Bunyi bel tanda berganti mata pelajaran. Seperti yang sudah-sudah, setiap terdengar bunyi bel pasti anak – anak kelas X 3 mulai ribut dengan kesibukan masing-masing. Baik yang tidak mengerjakan PR, yang mondar-mandir meminjam buku tugas teman, yang ribut bergosip dan berbagai macam aktivitas lainnya, sehingga membuat suasana di kelas tidak karuan.
Tapi untuk kali ini suara keributan yang ditimbulkan di kelas tidak seperti biasanya. Hampir semua anak meributkan hal yang sama, yaitu ulangan lisan mata pelajaran Bahasa Inggris yang diampu oleh Pak Nelly, berupa telling story. Para siswa diharuskan hapal salah satu cerita naratif yang telah ditentukan oleh pak Nelly. Bukannya anak-anak tak terbiasa mengikuti ulangan namun anak-anak sudah takut dengan raut wajah dan penampilan Pak Nelly yang memang agak berbeda dengan guru-guru yang lainnya, yang menurut penilaian anak-anak wajah pak Nelly terkesan sangar.
Ternyata setelah kuamati, tidak hanya aku yang cemas tapi teman-temanku juga sama cemasnya denganku.Terlihat ada yang menghapal sampai diulang- ulang namun ada pula yang masa bodoh.
Suara-suara berisik berhenti ketika di telingaku terdengar ucapan salam Pak Nelly, “Assalamu’alaikum…!” Begitu menggelegar di telingaku. Dan kami serentak menjawabnya, “Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh…!”
“Mari kita praktik telling story…,” kata Pak Nelly.
Suasana hening, semua murid diam saja. Lantas Pak Nelly memecahkan keheningan dengan berkata, “Kenapa semuanya diam saja? Ayo, siapa yang akan maju terlebih dahulu untuk bercerita!” Tak ada tanda-tanda seseorang yang akan maju. Setelah menunggu 10 menit, Pak Nelly berkata, “Yang mau maju pertama, akan mendapatkan nilai tertinggi di kelas ini!”
Akhirnya ada murid yang memberanikan diri untuk maju, kemudian diikuti muridmurid lain, termasuk aku. Setelah diperhatikan tak ada yang maju lagi, Pak Nelly kembali berkata, “ Hanya segitu? Tidak ada lagi yang mau maju?! Masak satu kelas hanya ada 10 anak?”
Salah satu siswi yang duduk di bangku sebelahku, Putri, namanya berbisik padaku, “Sinta, kalau maju tapi tidak hapal semuanya, Pak Nelly marah tidak ya?”
“Tidak, paling hanya disuruh mengulang lagi,” jawabku.
Ternyata Pak Nelly melihat ke arah kami, Pak Nelly menghampiri meja kami. Tiba-tiba Pak Nelly menepuk meja Puput sambil berseru, “ Hey !” Sontak aku dan Puput terdiam. Kuamati wajah Puput yang pucat, tangannya terus mengusap-usap sisi bajunya, jelas sekali bahwa ia sedang ketakutan karena Pak Nelly masih di dekatnya.
Kulihat Puput menengok ke arah belakang, pasti sedang melihat masih berapa lama waktu untuk pelajaran ini. Dugaanku benar, 15 menit lagi pelajaran usai. Tiba- tiba Pak Nelly mengagetkan Puput lagi dengan menepuk meja kembali dan bertanya, “Hei Mbak, rumahnya mana?!”
Puput yang ketakutan itupun gelagapan dalam menghadapi pertanyaan sederhana Pak Nelly. Dengan polosnya ia menjawab “ Tidak dibawa, Pak..”
Pak Nelly pun terkejut dengan jawaban Puput. Karena maksud Pak Nelly, ia menanyakan di mana alamat rumah Puput. Tapi, jawaban Puput sungguh begitu polos. Langsung saja semua siswa kelas X 3 termasuk aku tertawa dengan terbahak-bahak akan jawaban Puput itu.
Puput hanya bisa mengamati seluruh temannya, mengapa kami tertawa.Ia bingung, kenapa semua anak tertawa begitu keras. Apakah ada yang salah dengan jawabannya. Setelah Puput sendiri menyadari, kemudian ia tertawa dengan kerasnya. Padahal, kami telah berhenti tertawa. Serentak, akhirnya kami tertawa bersama-sama. Dan jam mata pelajaran Bahasa Inggris pun usai. (Sinta Yuni A – XII IPS 1)
*****
Siapa Nenek Itu…
Aku tinggal di kawasan pegunungan Dieng Banjarnegara. Sore itu ibu menyuruhku pergi ke rumah kakak untuk mengantar makanan yang baru saja ibu buat. Ibu memang sosok yang sangat baik dan perhatian kepada anak-anaknya. Langsung saja aku bersiap-siap menjalankan tugas dari sang ibu tercinta. Dengan memakai jaket tebal aku mulai menjalankan motor. Sore itu terasa sangat dingin dengan kabut yang menyelimuti seluruh kawasan Dieng.
Aku mengendarai motor dengan perlahan tapi pasti karena jalanan yang sedikit licin. Sekitar 15 menit akhirnya sampai juga di rumah kakak yang memang cukup jauh dari rumahku. Di sana aku langsung memberikan titipan ibu dan bermain sebentar dengan kemenakan kecilku yang masih sangat menggemaskan. Kemenakanku ini sangat nakal, pernah sekali pipiku digigit sampai membiru (mungkin kemenakanku gemas juga dengan pipiku yang ranum, he..he..he…).
Karena hari sudah semakin sore aku langsung pamit untuk pulang. Kakak memberiku sedikit uang jajan. “Lumayan,” kataku dalam hati karena memang kebetulan aku tidak membawa uang saat itu.
Setelah setengah dari perjalanan, tepatnya di Desa Dieng Kulon, tiba-tiba motor ku mendadak berhenti, mesinnya mati. Aku bingung apa yang terjadi dengan motorku? Langsung saja aku mengecek bensin, dan ternyata benar bensinnya habis. Padahal, pom bensin masih cukup jauh. “Wah, nasib sial nih,” pikirku saat itu.
Tanpa pikir panjang langsung saja aku mendorong motor itu perlahan. Malu bukan main saat itu, apalagi di pertigaan jalan dekat pom bensin sedang sangat ramai. Aku mendorong motor itu sendirian. Biar sajalah, aku tak peduli, yang penting cepat sampai pom bensin.
Sesampainya di pom bensin aku langsung mengisi bensin. Namun, tiba-tiba ada seorang nenek mendekatiku. Nenek itu mungkin berusia sekitar 60 tahunan. Dia semakin mendekat dan lebih dekat lagi. Setelah di depanku, nenek itu mengulurkan tangannya. Aku bingung karena aku tidak mengenalnya. Tapi, aku tetap menerima uluran tangannya, menjabat, dan kemudian mencium tangannya. Anehnya beliau tetap berdiri di depanku tanpa berkata apapun. Aku bingung, petugas pom bensin yang menyaksikan kejadian itu malah tertawa. Entah apa yang dia tertawakan. Melihat kebingunganku, nenek itu pergi dan kemudian duduk manis di depan pom bensin.
Saat aku memberikan uang kepada petugas pom, dia malah semakin menertawakan aku. Apa yang aneh denganku? Padahal, aku merasa tidak ada yang aneh. Kemudian sambil menerima uang pembayaran, dia berkata, “Dik, nenek itu tadi pengemis yang sedikit gila. Kenapa malah kamu menyalaminya? Menciumnya lagi, ha…ha…ha…!”
“Haaah? Jadi nenek itu pengemis? Dan parahnya lagi sedikit gila!?”
“Hahahaha… iya. Kamu baru tahu Dik? Kenapa malah kau mencium tangannya?”
Aku sejenak terdiam, perasaan antara malu dan bingung. Orang-orang di sekitar pun ikut tertawa terbahak-bahak. Aku tak peduli dan langsung pergi, menghampiri nenek itu kemudian memberikannya sedikit uang. Tidak ada salahnya kan menghormati orang yang lebih tua meskipun ia pengemis dan sedikit gila. (Umi Hartati – XII IPA 3)
*****
Bermain Sepeda
Masa kecil merupakan masa-masa yang mengasyikkan karena saat itu banyak waktu yang digunakan untuk bermain bersama teman-teman, baik bermain di lingkungan sekolah maupun di lingkungan rumah. Tahun 2005, ketika aku masih duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar, aku adalah seorang gadis cilik yang penakut dan cengeng. Ketika musim sepeda datang, biasanya aku dan teman-teman selalu rutin bermain sepeda, bisa dibilang nggak pernah absen.
Sore hari, sekitar jam tiga sore, teman-teman datang ke rumah mengajak bermain sepeda bersama. Sebelum pergi, aku ke belakang rumah untuk mengambil sepeda. Tiba-tiba kakakku mengatakan bahwa sepedanya agak bermasalah di bagian rantainya. Karena terburu-buru, nggak sabar untuk bermain sepeda bersama teman-teman, aku tidak mempedulikan omongan kakakku. Segera aku dan teman-teman bermain sepeda bersama-sama di sekitar gang lingkungan rumah warga. Biasanya aku dan teman-teman bermain sepeda di lapangan desa tetapi kala itu cuaca agak mendung, sehingga kami memutuskan untuk bermain sepeda di gang-gang lingkungan rumah saja.
“Kring…kring…kring…!” aku membunyikan bel sepedaku sambil meninggalkan rumah. Dengan senang hati, mengayuh sepeda berkeliling gang bersama teman-teman. Baru tiga kali putaran, rantai sepedaku lepas. Maklum saja, ini sepeda warisan kakakku. Terpaksa aku harus memperbaiki rantai sepeda yang lepas walaupun harus berhitam-hitam dengan oli.
“Seharusnya tadi aku mendengarkan kata-kata kakakku. Jadi sebelum aku menggunakan sepeda warisan ini, aku minta kakak untuk memperbaiki rantai sepeda yang gampang lepas,” sesalku sambil memasang rantai sepeda yang lepas.
Ketika aku sedang sibuk dan ribet memasang rantai sepeda, teman-teman tidak membantu aku. Perasaan yang tadinya senang jadi membosankan. Beberapa saat kemudian, aku selesai memperbaiki rantai sepeda. kemudian aku kembali mengayuh sepeda berkeliling gang.
Cuaca yang tadinya mendung berubah menjadi gerimis. Walaupun gerimis, aku dan teman-teman tetap asyik bermain.
“Ada orang gila..!! Ada orang gila..!!” tiba-tiba teman-teman berteriak berkali-kali sambil mengayuh sepeda ontelnya dengan kencang. Aku tetap santai dan tidak percaya. Ah, mungkin hanya gurauan saja. Tengok kanan-kiri depan-belakang ternyata nggak ada orang gila. Barangkali teman-teman hanya bercanda dan menakut-nakuti aku karena mereka tahu kalau aku takut sama orang gila.
Tepat di tikungan gang kecil dekat rumah tetanggaku, ada sesosok wanita dengan gaya yang unik dan aneh, yaitu si wanita dekil. Dengan model rambut yang acak-acakan seperti nggak pernah disisir, ia menggaruk-garuk kepala sambil tertawa-tawa sendiri. Jangan-jangan ini yang mereka sebut orang gila tadi. Orang ini menghadang aku di gang. Setttttttt…! Aku mengerem mendadak. Dag dig dug, jantungku berdebar kencang. Aku merasa takut, tubuhku gemetar, mau mundur dan putar arah tidak bisa karena lokasinya sempit. Akhirnya aku memutuskan untuk turun dari sepeda, kemudian meninggalkan sepedaku begitu saja. Aku terburu-buru mengambil langkah seribu, berlari ketakutan. Orang gila tersebut mengejar-ngejar aku. Aku terus berlari sembari sesekali menengok ke arah orang gila tersebut, apakah masih mengikutiku apa tidak. Setelah lama berlari, berkejar-kejaran dengan orang gila, akhirnya orang gila tersebut berhenti mengejarku.
Dengan napas terengah-engah, aku beristirahat sejenak di teras rumah warga sambil meluruskan kaki. Di sana kebetulan ada teman-teman yang tadi meninggalkan aku. Terjadilah adu mulut, aku memarahi teman-teman karena sudah meninggalkan aku. Teman-teman juga menyalahkanku ketika mereka berteriak orang gila, aku malah tetap santai tidak ikut lari dengan teman-teman. Akhirnya, aku mengaku salah. Setelah lama beristirahat, dan memastikan keadaan aman dari orang gila, bergegas melanjutkan perjalanan dengan bersepeda.
Saat teman-teman menaiki sepedanya masing-masing, aku bingung dan bertanya kepada teman-teman tentang keberadaan sepedaku. Tapi, tak seorang pun yang tahu keberadaan sepedaku. Salah satu dari temanku bilang kalau tadi saat aku beristirahat dengan mereka di teras, aku memang sudah dalam keadaan tidak membawa sepeda. Aku terus ingat kalau sepedaku tertinggal saat dikejar orang gila.
Beberapa menit kemudian.
“Kring…kring..kring…!” terdengar bunyi bel sepeda.
“Sepertinya aku tahu bunyi itu,” kata salah seorang teman sambil mengingat-ingat begitu pula dengan yang lain. Kemudian serentak mereka berteriak, “Itu sepedamu…!”
“Ya, itu sepedaku…!” ujarku yakin. Kami segera menengok ke arah sumber bunyi sepeda, ternyata sepedaku yang aku tinggal lari sedang dinaiki orang gila yang mengejarku tadi. Dengan rasa kesal dan takut aku berusaha merebut sepeda dari tangan orang gila itu. Aku mengejar orang gila itu sambil menangis, “Sepedaku…, sepedaku…!”
Tiba-tiba, bruuukkkk….! Aku jatuh terpeleset ee (tahi) ayam yang masih hangat, terjatuh sambil menangisi sepedaku yang dibawa lari orang gila. Sementara teman-temanku yang masih berdiam diri di teras malah menertawakan aku. (Indri Haryani – XII IPA 4)
*****
Buang Angin, Sri…
Pada saat saya kelas 2 SMP saya dan teman-teman saya setiap hari mengaji di pondok pesantren Al-Fatah Banjarnegara. Saya mengaji mulai jam 12.30 sampai dengan 20.30 WIB. Ketika itu santriwan dan santriwati sudah berkumpul di dalam ruangan menunggu kedatangan Pak Ustad. Suasana masih ramai penuh dengan canda dan tawa. saya duduk di barisan paling depan dengan kedua teman saya.
Ketika Pak Ustad datang suasana menjadi hening, barangkali karena takut mendapatkan marah dan hukuman. Beberapa menit kemudian Pak Ustad menerangkan isi dari kitab Al Mabadi. Saat Pak Ustad sedang asyik memberi penjelasan, kedua teman saya berbisik di telinga saya mengenai kata-kata yang lucu. Ingin rasanya saya tertawa terbahak-bahak pada saat itu. Tapi, tak mungkin hal itu saya lakukan. Saya hanya berusaha menahan tawa karena saya termasuk orang yang mudah tertawa.
Saat suasana hening hanya suara Pak Ustad saja, tiba-tiba…
”Tuuuiiiiit…!” terdengar suara angin misterius yang lumayan panjang dan berirama. Ternyata suara itu berasal dari pantat saya gara-gara saya terlalu kuat dalam menahan tawa. Jadi, tawanya nggak keluar lewat mulut atas tapi melalui mulut bawah… Suasana yang tadinya hening menjadi gempar oleh tawa serentak teman-teman saya yang terpingkal-pingkal. Kulihat Pak Ustad pun ikut tertawa. Saya sangat malu saat itu, muka saya pun langsung memerah dan ingin rasanya keluar dari ruangan itu. (Sri Latifatul Amprillah – XII IPS 2)
*****
Jus Melon Ala Sunlight
“Huh panas sekali..!!” kataku sambil berjalan ke tempat kosku. Hari ini terasa panas, gerah. Ingin rasanya aku masuk ke dalam kulkas dan bermesraan dengan es-es yang ada di situ. Aku membuka pintu dan berjalan masuk ke dalam ruang TV di tempat kosku. Karena aku merasa sangat haus aku mencari air minum dan alangkah malangnya nasibku, ternyata tak ada air minum yang tersisa.
“Atik. . . apa kamu punya air minum?” tanyaku pada salah satu teman.
“Ada,” jawabnya. Tanpa berbasa-basi dengan semangat juang bagai seorang pahlawan yang baru menemukan senjata untuk memberantas para penjajah, aku pun melangkah ke kamar Atik.
“Di mana Tik, aku sangat haus…” pinta ku.
“Ada tuh di bak kamar mandi, ha…ha..ha…,” jawab Atik dengan nada mengejek dan tertawa keras.
Dengan raut muka penuh kekecewaan, aku berjalan kembali menuju kamarku. Aku berharap semoga setelah bangun nanti, telah tersedia secangkir minuman dengan 1 buah poka es yang membuat seluruh tubuku merasa segar. Sambil terus berandai-andai aku pun terlelap tidur.
Sore harinya aku bangun dan segera keluar dari kamar. Alangkah terkejutnya aku, ketika aku melihat gelas yang terisi air berwarna hijau seperti jus melon di atas meja depan TV. Aku langsung meminumnya tanpa basa basi. Tapi, rasanya air yang aku minum ini aromanya tidak asing. Karena rasa hausku yang berlebihan bahkan bisa dibilang dehidrasi stadium akhir, akupun terus meminumnya. Tiba-tiba ada temanku yang berteriak.
“Woy, jangan diminum…!!!”
“Kenapa, kamu mau? Tapi kok rasanya sedikit aneh ya, kayak bau apaan gitu,” kataku sambil memutar-mutar gelas di tanganku.
“Ya jelas aromanya sedikit aneh. Itu kan sunlight untuk nyuci piring. Aku tadi kan baru beli karena di belakang sedang habis. Mau buat nyuci piring malah tempat sunlight-nya hilang. Jadinya aku taruh di gelas, terus aku kasih air. Eh, malah diminum kamu,” jelasnya sambil tertawa.
Mendengar penjelasan dari temanku, aku langsung ke belakang dan memuntahkan sunlight yang telah terlanjur aku minum. “Kapok! Kapok…!” teriakku disertai dengan tawa teman-teman kosku.
“Makanya kalau bangun tidur dikumpulin dulu nyawanya. Hari ini sunlight mungkin besok tinggal superpel yang dikira jus…,” ledek teman-temanku.
Setelah aku merasa sedikit baikan, aku pun duduk di ruang TV. Beberapa saat kemudian terdengar suara dari perutku. Ternyata aku ingin BAB (Buang Air Besar). Aku berlari menuju kamar kecil. Alangkah malangnya nasib ku, ternyata air di bak kamar kecil habis. TERLALU…!
Alhamdulillah, ada salah satu teman kos ku yang mungkin kashian dengan nasibku hari ini, dengan senang hati ia memintakan air kepada bapak kos supaya aku dapat mengeluarkan sisa-sisa sunlight yang masih bersemayam di perutku. (Ulfatul Karimah – XII IPA 2)
*****
Pilus Hitam
Malam telah tiba menghampiri hariku yang begitu lelah. Ketika jarum jam menunjukkan pukul 20.00 WIB, saudaraku Ima datang menghampiri, di kamar tidur. Tanpa basa-basi, ia pun langsung mengambil makanan yang sedang aku makan dengan nikmat. Tingkahnya yang begitu kocak membuat perutku terasa mules setelah kita tertawa terbahak-bahak karena tingkahnya. Dengan raut muka yang begitu konyol dan senyuman manis ketika dia tersenyum, tapi itu tak seindah ketika dia tertawa. Karena apa? Matanya sipit, yang reflek menutup ketika ia tertawa, menggugah pikiranku untuk bisa kabur dari hadapannya. Ia tak menyadarinya. Setelah selesai tertawa terbahak-bahak, ia baru sadar bahwa aku telah kabur dari hadapannya. Haa ha…
Gurauan semakin mengocakkan perut,yang ramai akan sebuah konser musik keroncongan yang dimainkan oleh para cacing-cacing senior.
“Sssttttt…!” kataku, dan menerkam mulutnya ketika dia tertawa di atas kasur.
“Dubrakkk…!!!”
Itulah suara indah yang sangat aku nanti-nanti melihat dia terjatuh di bawah kasur.
“Ckckck,” sahutku.
Dengan sergap ia pun membungkukan badanku dan menutup mulutku dengan bantal guling, hingga aku tak dapat bernapas. Tendangan seorang pemain bola bernama Bambang Pamungkas aku keluarkan untuk menendangnya dengan bersusah payah karena badanya yang lebih besar dariku. Diapun duduk santai di atasku yang masih ditimbun dengan bantal-bantal, dengan memakan Pilus Garuda milikku
Saat lonceng jam berbunyi menunjukkan waktu larut malam, terdengar suara tokek yang meracau. Tak lama kemudian listrik mati. Kamarku pun sangat gelap gulita. Tak ada cahaya sedikitpun yang bisa digunakan untuk menerangi kita. Tolong…! teriakan serempak yang kita keluarkan. Akan tetapi, anehnya kita teriak tidak langsung keluar dari kamar dan segera mencari penerang, bahkan kita masih tetap duduk di atas kasur sambil menikmati Pilus Garuda yang belum habis dimakan.
“Kriukk….,” terdengar suara lezat di telingaku. Dengan suasana yang begitu gelap membuat kita sulit untuk mengambil dan memakan Pilus Garuda. Berebutlah yang kita lakukan untuk mendapatkan Pilus Garuda terlebih dahulu. Bentuknya yang kecil mungil, membuatku asyik memakannya dengan nikmat. Mengambil, mengambil, dan mengambil secara bergantian, hingga ada beberapa butir pilus yang jatuh di atas kasur.
Rasa aneh dan penuh keraguan di tanganku ketika mengambil pilus yang entah ke beberapa kali. Namun, aku tak menghiraukannya. Dengan rasa mantap aku pun memakannya dengan nikmat. Rasa aneh di mulut semakin terasa. Dan lebih anehnya juga, kenapa tidak terdengar kriuk..kriuk di telingaku. Terasa ….. terasa… dan semakin terasa di lidahku. Setelah dirasa-rasa ternyata yang aku makan bukanlah Pilus Garuda…. akan tetapi Pilus Cicak alias “tai cicak” yang begitu pekat dan semerbak harumnya di mulutku. Rasa penuh gembirapun dirasakan Ima, saudaraku dengan lontaran tawa. (Indah Dewi S – XII IPA-1)
*****
Salut Pak atas kreativitas anak-anak, juga atas ketelatenan gurunya. Semoga mampu terus berkarya…!
dengan ditampilkannya karya siswa seperti ini semoga makin memotivasi siswa untuk mau menulis. salam.
Amin ya robbal ‘alamin. Terima kasih atas dukungan dan doanya.
wah, asyik juga tulisan teman-teman. kirim juga ke galerisiswa dong…
Bisa, bisa, bisa….!
Bagus…. perlu ditingkatkan dan diperbanyak lagi karyanya…
Terima kasih Mas…
Ping-balik: Kenangan Dibuang Sayang (2) | ruang imaji
HALLO PAK YOKO… Saya Zaim, alumni MAN 2 itu lho Pakk…, Bapak pasti ingat saya Pak.. hehehe.
Salam sejahtera untuk keluarga MAN 2 Banjarnegara 🙂
Tentu saja saya masih ingat, masak cewek terjorok sedunia (he..he…he…!) dilupakan. Tuh, tulisanmu (sebagai bukti kejorokan) masih terpampang di atas…
HAHA, Bapak jangan begitu, jadi malu Pak 🙂
Bagaimana kabarnya Pak, boleh tidak saya main ke MAN 2, meski jorok-jorok begini yang penting cantik Pak. whaha, iya kan Pak Yoko….
Syukurlah kalau masih punya malu… he.he..he… 😆
Alhamdulillah senantiasa dalam keadaan baik, silakan berkunjung ke almamater, kalau bisa sambil kirim karya yang lain. Kenangan yang lebih jorok ada kan?
Eh, cantik dari mana? Tuh, foto di gravatarnya saja menakutkan… 😆