Ada mendung yang menggelayut pada wajah Anisa siang itu. Keceriaan yang biasanya terpancar dari wajahnya tak berbekas sama sekali. Teman-teman yang sering pulang sekolah bersama, ditinggalkan. Anisa sedang ingin sendiri, katanya. Wahai, mendung seperti apakah yang telah tega mengotori wajah cantik Anisa?
Betapa terkejutnya bunda yang tengah merangkai bunga di ruang depan saat terdengar suara pintu terbuka dengan kerasnya, yang kemudian tertutup kembali dengan tak kalah keras. Terlihat sesosok bidadari kecilnya yang tengah beranjak remaja dengan bersungut-sungut menuju kamarnya.
“Astagfirullah…..! Anisa ada apa? Tak baik menghilangkan kebiasaan mengucap salam…” tegur bunda.
“Maaf Bunda, assalamu’alaikum….” ucap Anisa hanya sekadar membalas teguran bunda, tanpa mencium tangan, bahkan menoleh pun tidak.
“Wa’alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh…” balas bunda sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Lama Anisa tak keluar dari kamarnya. Bunda semakin bertanya-tanya, ada apa dengan Anisa? Akhirnya bunda menyusul, masuk kamar Anisa. Di kamar terlihat Anisa berbaring di tempat tidur, wajahnya tengadah menatap langit-langit kamar. Meski tatapannya kosong, tetapi ada butir-butir air yang menetes dari kelopak matanya, membasahi kedua pipinya yang ranum.
Perasaan bunda makin tak menentu. Ada apa dengan bidadarinya yang cantik ini? Adakah sesuatu yang telah mengganggu pikiran dan perasaannya? Sungguh aneh, Anisa berlaku tak seperti biasanya. Perlahan bunda menghampiri Anisa, lantas duduk di tepian tempat tidur.
“Ada apa sayang…? Tak seperti biasanya kekasih bunda ini berlaku…” ucap bunda sambil membelai rambut Anisa. Hening, tak ada jawaban. Jangankan menjawab, perubahan sikap dan ekspresi pun tak nampak pada diri Anisa.
“Anisa… Ada apa Anisa…! Jangan bikin bunda khawatir, Anisa…” kata bunda dengan sedikit panik. Tubuh Anisa diguncang-guncang bunda, kemudian didekapnya. Anisa masih terdiam, tetapi tak lama terdengar isak lirih dari mulut mungilnya. Anisa menangis, lirih.
“Keluarkan tangismu Anisa, jangan kau tahan. Biarkan tangis itu keluar agar beban dirimu sedikit berkurang…” bisik bunda dalam dekapnya. Lantas terdengar suara tangis itu, tak keras. Namun, hal itu sepertinya mampu sedikit melegakan perasaan Anisa.
Setelah suasana hati Anisa agak tenang, bunda melanjutkan, “Setiap permasalahan yang muncul terkadang dapat dengan mudah kita atasi sendiri, tetapi terkadang pula baru bisa teratasi setelah kita mengungkapkan pada orang lain. Tentunya ya orang lain yang kita percayai dapat membantu kita memecahkan permasalahan yang ada.”
Anisa masih terdiam, sesekali terdengar sisa isaknya yang tertahan. Bunda kembali berkata, “Dalam hidup ini banyak kita temui permasalahan. Kadang kita menjadi lebih dewasa karenanya. Kadang pula kita malah berputus asa. Ya, selama hayat masih dikandung badan, selama napas masih berhembus, masalah itu tak akan pernah ada habisnya…”
Mendengar kata-kata bunda, secara perlahan Anisa mengangkat wajahnya, memandang wajah bunda yang penuh keteduhan. Jauh berbeda dengan wajah Anisa yang masih diselimuti mendung dan sisa rintik air mata yang masih membasah di pipinya.
“Tapi untuk masalah ini Anisa nggak mampu Bunda… Gara-gara itu Anisa merasa sangat malu, Bunda…”
“Memangnya masalah yang Anisa hadapi itu apa? Coba ceritakan, mudah-mudahan Bunda bisa membantu.”
“Teman-teman menertawakan Anisa, Bunda. Itu semua karena Anisa tak mampu mengerjakan soal dari Ibu Guru, padahal teman-teman yang lain semuanya bisa karena kata mereka soal itu merupakan soal yang sangat mudah…”
“Kalau teman-teman Anisa semuanya bisa, kenapa Anisa tak mampu mengerjakannya?”
“Itulah Bunda, Anisa benar-benar malu. Rasanya Anisa tak mau lagi bertemu dengan teman-teman…”
“Lho, kok? Anisa tidak boleh seperti itu. Mestinya Anisa mengoreksi diri, mengapa sampai tidak mampu mengerjakan sesuatu yang orang lain bisa melakukannya dengan mudah. Barangkali Anisa sebelumnya tidak belajar, atau saat diberi penjelasan oleh guru Anisa tidak memperhatikan, iya?”
Anisa diam saja, menunduk. Hatinya mengiyakan dugaan bunda.
“Kalau memang betul begitu, mestinya Anisa meminta maaf pada guru dan juga teman-teman Anisa. Lantas selanjutnya tentu saja Anisa mesti memperbaiki diri dengan belajar lebih giat lagi.”
“Tapi Bunda…”
“Tapi apa…?”
“Kalau sudah belajar dengan giat, tapi Anisa tetap tidak mampu bagaimana?”
“Tak baik berputus asa Anisa, apalagi mengeluhkan sesuatu yang belum kita coba. Apapun yang terjadi, Anisa harus tetap bersemangat. Coba belajar pada kehidupan seekor cacing. Meski tak punya tangan, tak punya kaki, pun tak punya sayap, namun semangat hidupnya tak boleh disepelekan. Ia tetap berusaha mencari makan karena mempunyai perut yang harus diisi agar dapat mempertahankan hidupnya.”
Anisa khusyuk mendengarkan rangkaian kata bunda yang penuh makna.
“Begitu pula dengan seekor burung. Burung jantan yang mencari makanan bagi keluarganya, tak pernah memikirkan ke mana, di mana, dan bagaimana ia harus mencari makanan. Di saat matahari baru terbit, ia telah keluar dari sarangnya meninggalkan burung betina yang bertugas menjaga anak-anaknya. Padahal dalam usahanya mencari makanan, kadang ia mudah memperolehnya, kadang juga tidak. Dapat makanan atau tidak, burung-burung itu akan selalu mengepakkan sayapnya dengan penuh semangat. Ia juga selalu memperdengarkan suara kicau merdunya untuk menyambut kehidupan.
“Pernahkah kita melihat cacing berputus asa dengan mendekatkan dirinya pada kobaran api agar tubuhnya terbakar? Atau pernahkah kita mendengar ada burung yang patah semangat karena tak mampu memperoleh makanan kemudian membenturkan dirinya ke batang pohon atau menceburkan dirinya ke sungai?”
Anisa menggelengkan kepala.
“Jadi bagaimana dengan kita, manusia yang diciptakan Allah dengan kesempurnaan lebih dibandingkan makhluk yang lain?”
“Kalau begitu kita harus penuh semangat ya Bunda?”
“Betul Anisa. Jangan biarkan mendung terus menggelayut, berusahalah agar mendung segera berlalu. Kita tidak boleh berputus asa, tetap semangat menghadapi dan menjalani kehidupan, serta….”
“Selalu menjaga api semangat di dalam dada agar tak pernah padam, Bunda…” kata Anisa menyambut ucapan bunda. Bunda tersenyum. Anisa tersenyum. Mereka berpelukan dalam senyum yang sangat indah. (Raden Kusdaryoko Tjokrosutiksno*)