Dalam dunia sastra Indonesia, tanggal 28 April dikenang sebagai Hari Chairil Anwar. Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Juli 1922 dan meninggal dunia di Jakarta pada 28 April 1949 dalam usia 27 tahun karena sakit. Dia dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Chairil adalah penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan ’45 dan puisi modern Indonesia.
Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terempas dan yang Putus (1949); Deru Campur Debu (1949); Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin); Aku Ini Binatang Jalang (1986); Derai-derai Cemara (1998). Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide); Kena Gempur (1951, John Steinbeck).
Pada setiap pembicaraan mengenai puisi, jarang sekali orang yang tidak menyebutkan nama Chairil Anwar. Chairil Anwar merupakan tokoh besar di dunia sastra Indonesia. Karya-karya Chairil Anwar telah begitu sering menjadi topik pembahasan para ahli sastra. Di samping juga menjadi salah satu menu pengajaran sastra di sekolah-sekolah dan beberapa perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan betapa Chairil Anwar memiliki nama besar di blantika kesusastraan, khususnya di bidang puisi. Bahkan diadakannya peringatan Chairil Anwar setiap tahun pada hari kematiannya oleh beberapa lembaga yang berkaitan dengan dunia sastra, semakin memperkokoh posisinya sebagai “Dewa Puisi.”
Apabila kita diajak untuk menggali api semangat yang ada dalam puisi-puisi Chairil Anwar, ingatan kita akan menerawang menuju sejumlah puisinya yang penuh gelora, kental dengan gairah semangat hidup. Lantas kita pun seharusnya bertanya, akankah kegiatan ini hanya terhenti sampai di sini, hanya berkisar pada pembahasan api semangat karya Chairil Anwar? Semoga saja tidak. Namun bila memang demikian adanya, berarti kegiatan pembahasan ini dapatlah dikatakan “sekali berarti, sesudah itu mati.”
***
Puisi sebagaimana jenis karya sastra yang lainnya merupakan cerminan kehidupan manusia beserta keterlibatannya dengan fenomena yang melingkupinya. Dengan demikian, aktivitas dan kreativitas seorang penyair dalam menciptakan karya puisi tentu saja dipengaruhi oleh kondisi batin dan pengalaman hidup yang dirasakan, yang kemudian terpancar pada isi hasil karyanya.
Keterlibatan seorang Chairil Anwar dalam kehidupan pada zamannya menimbulkan semangat patriotisme pada puisi-puisi yang diciptakannya. Seiring dengan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, serta penindasan pada masa penjajahan merangsang jiwa perjuangan Chairil Anwar untuk mengobarkan semangat “tak gentar, (meski) lawan banyak seratus kali” (lihat puisi “Diponegoro”). Begitu pula dengan semangat perjuangan untuk menjaga dan mempertahankan kedaulatan negeri tercinta ini, yang tercermin pada puisi “Cerita Buat Dien Tamaela”,
Jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!
Seperti roda yang terus berputar, peristiwa kehidupan pada masa itu terulang kembali, meski dalam situasi yang berbeda. Kesengsaraan rakyat jelata sebagai dampak ketidakadilan dan kesewenang-wenangan pemegang kebijakan, seakan membuat nyala api Chairil Anwar berkobar kembali. Reformasi di segala bidang yang didengung-dengungkan oleh para mahasiswa dan kaum reformis pada tahun 1998, disambut dengan gegap gempita oleh berbagai kalangan masyarakat. Keberingasan aparat keamanan, panas terik matahari yang menyengat hingga ke tulang sumsum, lapar dan dahaga tetap mereka hadapi. Mereka “tak gentar, (meski) lawan banyak seratus kali”, tak kenal rintangan demi tercapainya tujuan untuk memperbaiki kondisi bangsa dan negara yang tengah carut-marut.
Namun begitu, roda masih saja berputar. Setelah satu dasawarsa lebih usia reformasi, kesengsaraan rakyat kecil belum juga berakhir. Tujuan gerakan reformasi seakan luput dari genggaman. Perbaikan kesejahteraan rakyat yang adil dan merata seperti hanya berada dalam bayangan yang sulit menjadi nyata. Perjuangan yang ada seolah hanya untuk kemakmuran diri sendiri, lepas dari slogan-slogan yang masih terngiang di telinga.
Tidakkah ada perasaan bersalah karena menghianati janji? Tidakkah merasa berdosa karena mengingkari amanat rakyat? Janganlah nurani dikebiri hanya untuk kenikmatan pribadi. Mestinya ada perasaan bersalah lantaran telah menyia-nyiakan nasib orang lain, yang seharusnya diperjuangkan. Chairil Anwar menulis sebagai berikut:
Kepada Peminta-minta
Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku
Jangan lagi kamu bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga
Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kaumemandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah
Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku
Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segela dosa.
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
Puisi “Kepada Peminta-minta” mengekspresikan sikap Chairil Anwar terhadap kemiskinan. Kemiskinan adalah hantu yang selalu mengejarnya. Chairil seperti sedang bergumam dalam puisi tersebut. Keberingasan dan kejalangannya luluh saat menyadari adanya kemiskinan. Seolah ada ketidakberdayaan di sana saat menghadapi kemiskinan di depannya. Yang Chairil mampu hanyalah berjuang menyuarakan kemiskinan tersebut melalui puisi sebagai suara hati yang mengetuk sanubari orang lain, terutama mereka yang memegang kebijakan di negeri ini.
Semestinyalah “sapaan” Chairil dalam puisi tersebut mampu diresapi agar menjadi api semangat untuk mengentaskan kemiskinan yang masih dirasakan sebagian besar rakyat di negeri yang subur makmur loh jinawi ini. Dengan begitu, kemakmuran yang benar-benar adil dan merata bisa terwujudkan.
Nah, dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa puisi-puisi Chairil Anwar beserta api semangat yang terkandung di dalamnya masih tetap hidup hingga sekarang. Meski diciptakan pada masa kehidupan Chairil, tetapi masih dapat ditarik relevansi dengan keadaan yang terjadi dewasa ini. Hal ini seakan mendukung obsesi Chairil Anwar untuk “hidup seribu tahun lagi.” (Raden Kusdaryoko Tjokrosutiksno*)
Posting-an yang menarik, sebagai peringatan untuk mengenang dan menghargai karya seorang tokoh besar di dunia sastra.
Iya, hanya sekedar mengenang, teringat dulu waktu kuliah biasanya ngadain acara baca puisi Chairil Anwar bareng teman-teman dan dosen.
Benar….
Masih harus banyak belajar memahami puisi pak. Terimakasih sharingnya menambah wawasan saya tentang puisi 🙂
Saya pun masih terus belajar kok Mbak Ika. Posting-an ini pun merupakan salah satu hasil belajar tentang puisi, terkhusus puisi-puisi “Sang Maestro” dunia perpuisian.
setiap kali mengingat Chairil Anwar, jadi ingat puisi Aku …
Betul Mas, puisi “Aku” memang sangat fenomenal karena menunjukkan sikap hidup Chairil.
Assalaamu’alaikum wr.wb, mas Raden…
Sungguh mengkagumkan dalam usia muda (meninggal umur 27 tahun), Pak Chairil Anwar sudah dikenali ramai hanya kerana puisi semangat yang ditulisnya. Hebat benar apabila potensi diri dapat menyerlahkan aura dalaman sehingga begitu tinggi jasanya dalam dunia sastera Indonesia. Pasti Pak Chairil Anwar telah menyumbang suatu usaha yang besar ketika mudanya sehingga puisinya masih dikenang dan menjadi revisi buat anak-anak sekolah dan dunia sastera Indonesia.
Nama Pak Chairil Anwar juga terkenal di Malaysia dan saya pernah membaca puisinya semasa remaja tetapi tidak ingat tajuknya. Sangat bermakna kata-kata dan siratan bahasanya.
Ternyata bukan senang mahu menjadi orang terkenal, pasti ada onak dan duri yang telah ditempuh sebelum namanya berkumandang di hari kemudian. Beruntunglah bagi mereka yang terus menulis kerana kegiatan mennulis memberi impak besar kepada penulisnya setelah meninggal dunia.
Semoga apa yang kita kongsikan di dunia maya akan bermanfaat buat semua yang membacanya. Aamiin. Tulisan yang mencerahkan bagi mengenang seorang tokoh pejuang sastera dan bangsa melalui kata-kata berapi yang bisa mengobar semangat anak bangsa. Salut mas Raden.
Salam hormat dari Sarikei, Sarawak. 😀
Wa’alaikumsalam Wr. Wb…
Begitulah agaknya sosok Chairil Anwar, yang karya-karyanya begitu mengagumkan, sehingga membuat usia karya-karyanya tersebut berumur panjang, melebihi usia penciptanya. Bahkan mungkin Chairil sendiri tak menyangka bila karya-karyanya akan menjadi mashyur seperti ini, menjadi pembahasan pada setiap pembelajaran sastra, bahkan menjadi perbincangan para ahli sastra.
Benar Mbak Fatimah, untuk mencapai ketenaran pasti akan banyak onak pada setiap perjalanan. Tinggal bagaimana kita menyikapinya, akankah menjadi tegar ataukah justru hancur. Mestinya setiap halangan bisa menjadi pembelajaran untuk meningkatkan diri menjadi lebih baik.
Saya pun berharap apa yang saya tuliskan ini bisa menebarkan manfaat, setidaknya di samping sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa seseorang di dunia satra, dengan menggali api semangat pada puisi-puisi Chairil Anwar akan tergali pula api semangat yang ada pada diri kita sendiri. Terima kasih Mbak Fatimah atas diskusi yang menarik ini, mudah-mudahan bermanfaat bagi kita.
Salam hormat penuh takzim pula untuk Mbak Fatimah beserta keluarga di penghujung pekan…
Saya dulu pernah membawakan puisi karya beliau waktu lomba.. Sangat bagus memang…
Syukurlah bila pernah membaca karya Chairil Anwar, semoga bisa mengambil nilai-nilai yang ada, dan sekarang pun masih tetap membacanya meski tak sedang ikut lomba.
Judulnya apa…?
lagu di blognya bagus, boleh tau judul dan penyanyinya?
Judul lagu “Aku Ingin” karya Sapardi Djoko Damono, dinyanyikan oleh Ratna Octaviana.
Saya mengenal puisi waktu SMP dan puisinya Chairil Anwar berjudul “aku”. Saya lalu menghafal dan berdeklamasi di kamar mandi (akhirnya di gedor karena tidak keluar-keluar). Setelah orde baru saya senang puisinya WS Rendra beli bukunya Blues untuk Bony dan empat kumpulan sajak, juga beberapa buku penyair lain Sbedi setiawan (lupa namanya). Saya tetap senang berdeklamasi walaupun sudah punya anak dan istri cuma geleng-gelng kepala menyuruh anak-anak jangan berkomentar. Dan kalau saya punya uang lebih, saya membeli majalah Horison dan bisa membaca sampai puas. Yang saya sukai puisi Leon Agusta, itu lho puisi yang bisa dibaca seperti pidato (puisi oratorium). Setelah itu hati saya suntuk, tak ada yang menyentuh kecuali bagian puisi Raden Kusdaryoko, yang berbunyi: dan biarkan sepotong rembulan yang dijanjikan malam bersinar tak tertutup awan.
Kini Pak Kus menggelitik saya untuk mencari lagi puisinya Chairil Anwar. Apa ada bukunya?
Wah, ternyata Bapak ini tak hanya piawai dalam menulis cerpen, namun juga punya pengalaman dan pengetahuan yang luas tentang dunia perpuisian. Penyair-penyair yang Bapak sebutkan, kebetulan saya suka pula dengan karya-karya yang mereka ciptakan, di samping karya beberapa penyair yang lain tentunya. Bahkan untuk model puisi Leo Agusta, secara langsung atau tidak, saya pernah terpengaruh gayanya dalam menulis puisi, meski sebenarnya khususnya puisi yang saya buat lebih banyak yang mempribadi.
Mengenai “dan biarkanlah sepotong rembulan yang dijanjikan malam tak lagi sembunyi di balik awan” itu hanya sekedar harapan, sekedar doa, yang barangkali ada pula orang lain yang memiliki harapan yang sama seperti itu. Terima kasih atas apresiasi Bapak.
Untuk buku-buku Chairil Anwar, insya Allah masih ada di toko buku, meski agak sulit mencarinya. Ngomong-omong, apa Bapak tak tertarik untuk menulis puisi juga? Mengasyikkan lho, Pak…